Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pesantren

Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pesantren 

Pada dasarnya pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, di mana pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan agama Islam diharapkan dapat diperoleh di pesantren. Apa pun usaha yang dilakukan untuk meningkatkan pesantren di masa kini dan masa yang akan datang harus tetap pada prinsip ini. Tujuan pendidikan pesantren tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Selain itu, tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.  Tujuan ini pada gilirannya akan menjadi faktor motivasi bagi para santri untuk melatih diri menjadi seorang yang ikhlas di dalam segala amal perbuatannya dan  dapat berdiri sendiri tanpa menggantungkan sesuatu kecuali kepada Tuhan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara umum  tujuan pendidikan pesantren adalah mendidik manusia yang mandiri, berakhlak mulia, serta bertaqwa.
Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pesantren

Berdasarkan tujuan pendidikan pesantren seperti di atas, maka yang paling ditekankan adalah pengembangan watak pendidikan individual. Santri dididik sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan dirinya, sehingga di pesantren dikenal prinsip-prinsip dasar belajar tuntas dan maju berkelanjutan. Bila di antara para santri ada yang memiliki kecerdasan dan keistimewaan dibandingkan dengan yang lainnya, mereka akan diberi perhatian khusus dan selalu didorong untuk terus mengembangkan diri, serta menerima kuliah pribadi secukupnya. Para santri diperhatikan tingkah laku moralnya dan diperlakukan sebagai makhluk yang terhormat sebagai titipan Tuhan yang harus disanjung. Kepada mereka ditanamkan perasaan kewajiban dan tanggung jawab untuk melestarikan dan menyebarkan pengetahuan mereka tentang Islam kepada orang lain, serta mencurahkan segenap waktu dan tenaga untuk belajar terus menerus sepanjang hidup.
Dalam sistem pendidikan pesantren tradisional tidak dikenal adanya          kelas-kelas sebagai tingkatan atau jenjang pendidikan. Seseorang dalam belajar          di pesantren tergantung sepenuhnya pada kemampuan pribadinya dalam menyerap ilmu pengetahuan. Semakin cerdas seseorang, maka semakin singkat ia belajar.  Menurut tradisi pesantren, pengetahuan seorang santri diukur dari jumlah buku-buku atau kitab-kitab yang telah pernah dipelajarinya dan kepada ulama mana ia telah berguru. Jumlah kitab-kitab standar berbahasa Arab yang harus dibaca (kutubul muqarrarah) telah ditentukan oleh lembaga-lembaga pesantren. Dengan demikian, dalam pesantren tradisional kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning) dijadikan mata kajian, sekaligus sebagai sarana penjenjangan kemampuan santri dalam belajar. Satuan waktu belajar tidak ditentukan oleh kurikulum atau usia, melainkan oleh selesainya kajian satu atau beberapa kitab yang ditetapkan. Pengelompokan kemampuan santri juga tidak didasarkan semata-mata kepada usia, tetapi kepada taraf kemampuan santri dalam mengkaji dan memahami kitab-kitab tersebut.

Dalam pesantren tradisional, untuk menentukan kitab mana yang akan dikaji dan diikuti oleh seorang santri tidak secara ketat ditentukan oleh kyai atau pesantren, melainkan justru diserahkan kepada santri itu sendiri. Hal ini karena santri yang meneruskan ke pesantren, terutama pesantren besar, dianggap telah mampu untuk mengukur kemampuannya, sehingga pesantren atau kyai hanya membimbing tentang cara menentukan pilihan kajian. Pemilihan materi belajar yang memberikan keleluasaan kepada santri untuk ikut mengambil peranan di dalam menentukan jenjang dan kurikulum belajarnya oleh sebagian peneliti dianggap sebagai adanya proses demokratisasi di dalam proses belajar mengajar.

 Sistem pengajaran di pesantren dalam mengkaji kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning) sejak mula berdirinya menggunakan metode sebagai berikut :

a.    Metode sorogan, di mana santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kyai membacakan pelajaran yang berbahasa Arab itu kalimat demi kalimat kemudian menterjemahkannya dan menerangkan maksudnya. Sedangkan santri menyimak dan memberi catatan pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kyai. Adapun istilah sorogan tersebut berasal dari kata sorog (bahasa Jawa) yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyainya. Di pesantren besar, sorogan dilakukan oleh dua atau tiga orang santri saja yang biasanya terdiri dari keluarga kyai atau santri-santri yang diharapkan di kemudian hari menjadi ulama.

b.    Metode wetonan, di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk                    di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri membawa kitab yang sama dengan kitab kyai dan menyimak kitab masing-masing serta membuat catatan padanya. Istilah wetonan ini berasal dari kata wektu (bahasa Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diadakan dalam waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melakukan shalat fardhu. Di Jawa Barat metode ini disebut dengan bandongan, sedangkan di Sumatra dipakai istilah halaqah. Dalam sistem pengajaran semacam ini tidak dikenal adanya absensi. Santri boleh datang boleh tidak, juga tidak ada ujian.

Dua metode pengajaran di atas dalam waktu yang sangat panjang masih dipergunakan pesantren secara agak seragam. Metode sorogan tentu lebih efektif, karena kemampuan santri dapat terkontrol secara langsung oleh kyai (ustadz).      Akan tetapi metode tersebut sangat tidak efisien, karena terlalu memakan waktu lama. Sedangkan metode wetonan akan lebih efisien, namun sangat kurang efektif, karena kemampuan santri tidak akan terkontrol oleh pengajarnyaMeskipun demikian, dalam kedua metode tersebut budaya tanya jawab dan perdebatan tidak dapat tumbuh. Terkadang terjadi kesalahan yang diperbuat oleh sang kyai (ustadz), namun tidak pernah ada teguran atau kritik dari santri. Bahkan, tidak mustahil tanpa pikir panjang para santri menerima mentah-mentah kesalahan tersebut sebagai kebenaran. 

Sekarang ini, beberapa pesantren tradisional tetap bertahan dengan kedua sistem pengajaran tersebut tanpa variasi ataupun perubahan. Sedangkan sebagian yang lain telah berubah sesuai dengan perubahan zaman dan mulai menerapkan sistem pendidikan klasikal yang dianggap lebih efektif dan efisien. Sistem yang disebut terakhir ini mulai muncul dan berkembang di awal tahun 1930-an. Modelnya seperti sekolah pada umumnya, meskipun kurikulum dan silabusnya sangat bergantung pada kyai, dalam arti dapat berubah-ubah sesuai dengan pertimbangan dan kebijaksanaan kyai. Ini semua masih dalam satu pembicaraan, yaitu hanya pelajaran agama atau kitab-kitab kuning saja yang diajarkan.

Sistem evaluasi yang berlaku di dalam pesantren tradisional biasanya tidak terlalu ketat dan mengikat, melainkan sangat memberi keleluasaan kepada santri yang bersangkutan untuk melakukan self-evaluation (evaluasi diri sendiri). Dalam evaluasi pengajaran ini, peranan kyai sangat menonjol dan lebih besar pada metode sorogan, sementara pada metode wetonan para santri sangat mempunyai peranan. Biasanya titik tekan evaluasi yang dilakukan oleh kyai dan pengurus pesantren tidak sekedar pada pengetahuan kognitif, berupa sejauh mana keberhasilan penyerapan ilmu dan pengetahuan yang telah diperoleh santri, tetapi lebih jauh lagi pada keutuhan kepribadiannya berupa ilmu, sikap, dan tindakan --tutur kata dan perbuatan-- yang terpantau dalam interaksi keseharian santri dengan kyai. Dalam menentukan apakah seorang santri telah berhasil menyelesaikan suatu kurikulum tertentu, dengan demikian tidak sekedar dinilai dari aspek penguasaan intelektualnya, melainkan juga integritas kepribadian santri yang bersangkutan yang dinilai dari kiprah dan     tingkah laku kesehariannya.

Proses pendidikan di pesantren berlangsung selama 24 jam. Dalam pesantren tradisional, penjadwalan waktu belajar tidaklah terlalu ketat. Timing dan alokasi waktu bagi sebuah kitab yang dikaji biasanya disepakati bersama oleh kyai dan santri sesuai dengan pertimbangan kebutuhan dan kepentingan bersama. Dapat saja waktu 24 jam hanya dimanfaatkan empat atau lima jam untuk istirahat, sedangkan sisanya untuk proses belajar mengajar dan beribadah, baik secara kolektif maupun secara individual. Pendidikan pesantren sangat menekankan aspek etika dan moralitas. Proses pendidikan di sini merupakan proses pembinaan dan pengawasan tingkah laku santri yang seharusnya merupakan cerminan ilmu yang telah diperoleh. Pembinaan dan pengawasan ini dilakukan bersamaan dengan peneladanan langsung oleh kyai dan pengurus sebagai kepanjangan tangan dari kyai, mulai dari urusan ibadah sampai pada urusan keseharian santri.
Dalam pesantren tradisional dikenal pula sistem pemberian ijazah, tetapi bentuknya tidak seperti yang dikenal dalam sistem modern.